Entah kemana saja langkah kaki ku akan kuarahkan. Yang kutahu hari ini aku harus menjual sesuatu, apapun itu. Kuketuk perlahan pintu sebuah rumah yang ada di belokkan kompleks ini.
“Selamat siang ibu,..........saya........”, belum sempat aku meneruskan kalimatku itu si Ibu gembrot itu langsung mengibaskan tangannya. Seolah-olah hendak mengusirku seperti majikan yang pergi meninggalkan anjingnya di tengah
Sepatu van tofel ku ini sudah sangat lusuh sekali meski setiap hari hampir aku selalu menyemirnya dengan semir sepatu sisa bekas milik Pak Udin yang selalu mangkal di ujung gang sempit dekat kost ku itu. Panas tengah hari bener-bener menari diatas kepalaku, sehingga membuat ubun-ubunku seakan menangis menitikkan keringat tanda kesedihan belum satu pun rupiah aku dapatkan di hari ini.
“Mas,......es teh tawar satu”, teriakku kepada seorang penjual HIK di pinggir jalan. Aku bisa melihat gurat kecewa si abang penjual ketika aku memesan es teh tawar itu berarti dia hanya dapat menerima tujuh ratus rupiah saja. Dengan malas dia menyerahkan minuman itu di hadapanku.
Aku langsung meneguknya habis tandas tanpa tersisa setetes pun. Hah,...sudah hampir dua minggu aku berjualan ATK ini sama sekali tidak ada yang laku. Kapan aku bisa dapat bonus kalau kayak gini? Padahal Irfan saja sudah bisa mendapatkan bonus dua ratus tujuh puluh
“Pisang berapa mas?”, tanyaku lirih sambil mengkalkulasi berapa sisa uangku. Apakah cukup untuk membeli satu buah pisang? Supaya aku bisa pulang dengan selamat sampe ke kost tanpa harus berjalan kaki lagi selama 47 menit.
Si abang penjual itu hanya menjawab tanpa menoleh sedikitpun, “tiga ratus rupiah. Yang lainnya juga sama”. Rupanya dia sedang sibuk memasak mie instant pesenan seorang satpam yang bertugas di Bank swasta yang ada di depan. Tujuh ratus ditambah tiga ratus berarti seribu, masih ada sisa uang dua ribu
Yach apa mau dilacur, ada uang abang sayang. Mungkin pepatah itu adalah salah satu yang tepat untuk menggambarkan betapa berkuasanya uang sekarang ini. Entah orang bawah orang atas semua berebut akan kuasa uang. Orang miskin antre beras dan minyak tanah karena harganya yang setengah miring. Sampe-sampe Ibu Broto tetangga seberang harus antre dari subuh sekali untuk bisa mendapatkan dua liter minyak tanah dengan harga
Mungkin maksudnya memang untuk menyogok para warga sich. Orang kaya.......bebas mau ikut atau tidak asal sepanjang ada duit. Engga ikutan kerja bakti asal nyumbang dua ratus ribu rupiah untuk konsumsi beres sudah. Tidak ada celaan dari warga sekitar. Beda sekali dengan Pak Idris pembersih sampah yang tidak bisa ikutan kerja bakti karena harus mengurus Ibunya yang sakit. Mau tak mau dia tidak bisa mengganti uang kehadiran, sebab uangnya habis untuk membeli obat untuk ibunya tersebut. Tapi, ibu-ibu diujung gang sudah ribut ketika tukang sayur datang.
“Denger dech masa si Idris ngga ikutan kerja bakti. Udah dekil gitu aja sok nolak kerja bakti segala. Alasannya ibunya sakit! Bilang aja udah malas kerja ngangkut sampah gituan. Huh mahal-mahal kita bayar seratus tiga puluh tujuh ribu rupiah per bulan buat dia ngangkut sampah. Tapi kerja gitu aja udah malas”, suara sura sumbang itu pun bermunculan. Terutama dari mulut ibu usil, Bu Gembrot. Akibatnya Pak Idris pun terpaksa pindah kontrak ketimbang dia semakin dijauhi dan diberitakan yang tidak-tidak oleh warga sekitar.
Kasihan Pak Idris, sampe kemarin akhirnya aku merelakan uangku sepuluh ribu rupiah untuk bekalnya dia balik ke kampungnya di Indramayu. Meski aku tahu uang segitu tidak ada nilainya. Tapi, Pak Idris tampak berkaca-kaca sekali, “Makasih Mas Gusti. Mugi-mugi Sing kuasa ngeparengke balasanne kangge Mas Gusti”. Biar Pak Idris orang Indramayu, tapi dia fasih sekali berbahasa Jawa ketika kami bertemu. Sebenarnya Pak Idris itu orang yang baik sekali, jujur, sholeh, tak pernah mengeluh. Sering kita suka tirakat bareng, dan mengaji bersama. Siang ini aku berencana untuk masuk ke daerah ruko baru yang ada di ujung kompleks
“Kalau kamu ngga becus njual satu set aja. Udah berhenti
Saat aku akan berbelok, tiba-tiba saja muncul sebuah musholla putih pualam berhiaskan marmer warna merah muda. Perasaanku mengatakan kalau musholla ini dulu belum ada sekitar tiga minggu yang lalu waktu aku berkunjung kesana. Ah masa bodoh lah, toch yang penting aku juga belum shalat. Dengan segera aku melepaskan sepatu ku dan kutaruh barang daganganku di tiang sisi barat. Sesaat setelah mengambil wudhu aku melihat seorang lelaki berperawakan sedang masuk ke dalam musholla. Aku pun menepuk pundak kanannya, tanda bahwa aku ingin shalat berjamaah hari ini. Pria itu pun akhirnya menjadi imam. Kami shalat begitu khusyuk sekali. Dalam hati entah mengapa aku merasa begitu dekat sekali dengan sang Khalik. Seolah-olah Dia memandangku dengan Kuasa-Nya dari atas ke arahku. Aku tak pernah merasakan shalat yang sedemikian ini sebelumnya. Baru pertama kali ini aku bisa bisa benar benar khidmat. Hingga tak terasa mataku menggelembung seakan mau pecah. Ketika tahiyat berakhir dan aku berniat ingin salaman bersama pemuda itu. Entah mengapa dia hilang dari arah pandangan ku. Apa mungkin dia pergi duluan ketika sudah selesai berjamaah? Ah tak mungkin? Jadi siapa dia?
Perasaan takut campur aduk berkecamuk di dalam diriku. Meski merasa sedikit khawatir aku keluar dengan perlahan dari dalam masjid. Sesudah itu aku melangkah menuju arah kompleks ruko. Deretan kantor ada disitu semua. Diujung ada kantor playgroup, dia sebelahnya rumah makan, sebelahnya kantor pengacara, sebelahnya lagi sebuah BPR, sebelahnya lagi adalah kantor notaries. Pelan-pelan aku mendekat ke arah ruko pertama yang aku masuki.
Bismillah..................bisikku dalam hati.
“Selamat siang Mbak? Perkenalkan saya Gusti. Saya mau menawarkan alat tulis kantor dari brand Swalow. Kami menyediakan pulpen, pensil, penggaris, dan semacamnya Mbak......Mungkin mbak tertarik?”, sapaku sopan setelah mendorong pintu geser tersebut, tampak seorang wanita berjilbab menyambutku dengan penuh senyum.
“Silahkan duduk dulu Mas Gusti. Kebetulan saya memang lagi mencari kertas fax dan beberapa peralatan tulis menulis. Kalau boleh tahu berapa harga yang ditawarkan?”, tanyanya ramah.
Aku kemudian mengeluarkan daftar harga, toch aku juga tidak berniat menaikkan harga jual dari harga resmi. Tidak etis rasanya kalau kita sudah bekerja dengan sistem komisi masih harus menaikkan harga lagi.
“Wah harga grosir yach? Kalau gitu mas Gusti saya pesen pulpennya dua lusin, pensil nya dua lusin juga”, sahut Mbak yang akhirnya aku tahu bernama Siska.
Dalam hati aku mengucapkan kalimat tahmid yang tidak terkira, ini berarti aku mendapatkan keuntungan yang lumayan.
Segera aku membungkuskannya sambil menyerahkan notanya ke Mbak Siska.
“Kok jadi sales sich Mas? Apa ngga capek nich?”, tanyanya.
Aku hanya tersenyum, “Namanya juga orang kerja Mbak. Kalau ngga gini saya ngga bisa makan!”.
“Emang mas terakhir pendidikannya apa?”, tanyanya lanjut.
“Saya kebetulan mengambil S-1 tekhnik informatika. Tapi cuma sampe semester tujuh aja jadi belum tamat”, sipuku malu. Baru kali ini ada orang baik yang mau menanyakan diriku. Walau aku juga tidak terlalu berani menatap dalam-dalam kearah Mbak Siska karena dia bukan muhrim ku.
“Loh kenapa ngga diterusin? Keasikan kerja yach Mas?”.
“Bukan mbak, masalah klasik kok”, jawaku lagi.
Mbak Siska pun berhenti menanyakan diriku lagi. Dia kemudian menyerahkan uang seratus ribu kepadaku untuk pembayaran produk senilai total tiga puluh ribu rupiah.
“Wah ngga ada yang kecil yach Mbak?”.
“Kembaliannya buat Mas Gusti aja”, jawabnya pendek.
“Wah saya nda enak dong kalau gitu sama Mbak Siska, biar saya tukerin dulu yach Mbak sama orang yang ada di depan”.
“Eh ngga usah Mas Gusti. Bener sisanya buat Mas Gusti aja. Saya ikhlas kok”, terangnya sekali lagi meyakinkanku sambil mencegah kepergianku.
“Tapi, kok besar sekali yach mbak....tujuh puluh ribu loh Mbak”, kataku.
Mbak Siska hanya tersenyum, “Ya udah biar impas saya minta tolong dech sama Mas Gusti. Tolong saya di installin network komputer FO saya sama tiga komputer lainnya. Bisa toch Mas............?”.
Aku mengangguk, network sudah aku kuasai semenjak aku masih di semester satu saat kuliah dulu. Dengan segera aku menyelesaikan permintaan Mbak Siska. Ruko ini pun aku nilai cukup besar juga Karena terdiri dari tiga lantai dan, tiap lantainya disekat menjad 4 ruangan.
“Sudah Mbak Siska......semua sudah beres. Bisa mbak Siska check nanti. Kalau misalnya ada apa apa biar nanti saya perbaiki”, jawabku. Mbak Siska itu kemudian mulai sibuk mengecek garapanku.
“Wah bener mas sudah bisa.......makasih yach! Dari tadi saya sudah berusaha loh mas untuk mengconnect nya tapi ngga bisa bisa juga. Makanya saya minta satpam untuk mencari tenaga reparasi....eh ternyata bisa sama Mas Gusti”, jelas Mbak Siska.
Aku hanya tertunduk malu, “Kalau gitu saya mohon pamit yach Mbak. Terimakasih buat semuanya. Kalau ada apa-apa bisa contact ke nomor ini. Ini nomor kantor saya”, ucapku sambil menyerahkan selembar kartu nama kucel tersebut.
“Ohh baik baik Mas Gusti terimakasih juga atas bantuannya yach!!!”,.
Aku keluar dengan penuh senyum. Alhamdullilah hari ini aku tidak jadi dipecat, dan masih ada banyak sisa uang untuk bisa aku pergunakan.
Aku menatap selembar uang seratus ribu yang aku pegang dari Mbak Siska,....ehm aneh ech kok kelihatan lebih tebal. Masyaallah ketika aku geser ternyata masih ada 5 lembar tersisa. Rupanya uang itu melekat sedemikian rupa. Buru-buru aku menggedor pintu ruko itu lagi dengan niatan untuk mengembalikan kelebihan uang tersebut.
“Permisi Mbak Siska......misi”, sahutku.
Muncul seorang Mas-mas yang perawakkannya tinggi, “Wah maaf Mas kita ngga butuh barang”, tolaknya halus.
“Engga Mas....saya hanya ingin ketemu sama Mbak Siska aja kok mau menyerahkan kelebihan uangnya”, jawabku.
“Mbak Siska? Wah ngga ada yang namanya Mbak Siska disini Mas........emang orangnya gimana?”, tanyanya balik.
“Dia tingginya sedang pake jilbab warna biru muda dan ada tahi lalat di pipinya Pak.....”.
Lelaki itu tampak kaget dengan penjelasanku. Buru-buru dia masuk dan mencegahku untuk pergi. Dengan segera pria muda itu kembali bersama dengan seorang bapak berumur diatas
“Selamat siang mas,....saya Pak Punto manager branch kantor ini. Apa bener Mas....melihat seorang wanita muda berjilbab warna biru?”, tanya lelaki itu.
“Iya pak baru tadi siang saya kesini untuk menawarkan ATK produk saya? Memangnya kenapa pak?”.
Bapak itu kemudian tampak menghela nafas sejenak sebelum kemudian dia bercerita, “wanita muda yang bapak temui itu.....sebenarnya adalah manajer TK ini sebelum saya namanya betul Mbak Siska. Kebetulan baru kemarin dia naik haji...”.
“Alhamdullilah.....masih muda segitu sudah bisa naik haji yach Pak. Subhanallah....”, sahutku. Dalam hati pun aku bertanya apakah aku bisa menginjakkan kaki ke tanah suci?
“Namun itu dia masalahnya Mas.......waktu wukuf di Padang Arafah beliau terlepas dari rombongan besar jamaah haji
Wallahualam dengan kejadian tersebut....aku hanya dapat menyembunyikan rasa penasaran dan keherananku akan kejadian yang terjadi siang itu dan entah mengapa uang ratusan ribu itu tiba-tiba saja berubah menjadi mata uang real arab Saudi.
………………………………….TAMAT…………………………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar